buk renteng ‘van der wijck’

Lagi-lagi, perjalanan  di sebuah pagi (yang tidak buta) bulan Juni 2010 di Yogyakarta, negeri paling nyaman, kembali mengajak untuk menjelajah sejarah. Di daerah Minggir, tepatnya di dusun Tangisan, terdapat Selokan Van Der Wijck (dahulu dikenal dengan nama Kanal Van Der Wijck). Masyarakat sekitar menyebutnya dengan ‘Buk Renteng’. ‘Buk’ mengacu pada arti jembatan, sedangkan ‘renteng’ mengacu pada pengertian bergandengan, sambung menyambung, berangkai. Jika diamati sekilas, Buk Renteng ini memang hanya seperti jembatan panjang. Padahal, Buk Renteng menjadi jalan atau aliran air dari Sungai Progo menuju wilayah Klangon, Balangan, hingga daerah di wilayah Kecamatan Minggir.

Hal yang menarik dari Buk Renteng ini adalah letaknya yang relatif tinggi dari permukaan tanah. Bangunannya yang panjang seolah membentengi salah satu sisi jalan. Lengkung-lengkung pada bagian bawahnya seolah menjadikan sosoknya seperti jembatan dalam pengertian sesungguhnya. Lebar bangunan Buk Renteng sekitar 2,5 meter, tinggi dari permukaan tanahnya mencapai 4 meter, dan kedalaman rata-ratanya antara 2-3 meter.

Hal yang lebih menarik lagi adalah proses pembangunan Buk Renteng ini. Buk Renteng ternyata menjadi saksi atas kecerdikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di awal pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, kekuasaan Jepang sangat besar, termasuk gencar melakukan perekrutan tenaga paksa atau romusha  untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dan membangun sarana prasarana guna kepentingan perang melawan Sekutu di Pasifik. Tenaga romusha disalurkan ke luar Pulau Jawa dan Birma untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan sarana transportasi, pertanian dan perkebunan untuk kepentingan pemenangan perang bagi pihak Jepang.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian mencoba menyelamatkan warganya dari kekejaman pemerintah Jepang. Beliau mengatakan kepada Jepang Bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering yang hasil buminya hanya berupa singkong dan gaplek. Beliau kemudian mengusulkan agar romusha dari wilayah Yogyakarta dapat mengerjakan proyek-proyek di wilayah Yogyakarta sendiri, misalnya proyek pembangunan saluran irigasi yang menghubungkan Sungai Progo dan Sungai Opak. Ditambahkan oleh Beliau, dengan adanya proyek ini, diharapkan lahan pertanian yang sebelumnya adalah lahan tadah hujan menjadi lahan sepanjang tahun sehingga pasokan kebutuhan pangan Tentara Jepang menjadi lebih banyak karena padi yang dihasilkan pun meningkat.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap pemerintah Jepang, dibuktikan dengan disetujuinya saran tersebut. Warga Yogyakarta pun terbebas dari romusha pemerintah Jepang. Di bawah kendali Beliau proyek ini berhasil menyatukan Sungai Progo di sisi barat Yogyakarta dengan Sungai Opak yang berada di sisi timur. Akhirnya, warga Yogyakarta-lah yang kemudian diuntungkan dengan proyek ini. Benar-benar tahta untuk rakyat, meski tanah lahirkan tahta, rajanya bercermin di kalbu rakyat..singgasananya bermartabat, berdiri kokoh untuk mengayomi rakyat.

Hal yang disayangkan adalah kini Buk Renteng penuh coretan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, anak-anak muda yang tidak tahu sejarah, vandalis, merusak situs. 😦

2 thoughts on “buk renteng ‘van der wijck’

  1. Ada yang tidak tepat dengan tulisan anda. Pertama, sebelum adanya inisiatif Sri Sultan HB IX utk membangun selokan (dikenal dg nama selokan Mataram), pemerintah Hindia Belanda terlebih dahulu telah membangun saluran irigasi (dikenal dgn nama selokan van der wijck) guna mengairi perkebunan gula di wilayah sleman bag barat. Pada th 1900-an wilayah tersebut merupakan pusat perkebunan gula yang dipasok untuk pabrik gula di wilayah yogya yang tersebar sebanyak 17 pabrik. Kedua, selokan mataram dibangun pada saat invasi Jepang Tahun 1942-an. Guna meredam tenaga kerja romusha, maka Sultan berinisiatif membangun selokan yang mana tenaga kerjanya adalah rakyatnya sendiri. demikian koreksi saya, tks

Leave a comment